Beranda | Artikel
Golongan Penerima Zakat (2)
Jumat, 8 Juni 2012

Amil zakat adalah salah satu yang berhak penerima zakat. Namun kadang amil zakat disalahpahami. Padahal ada kriteria khusus dalam Islam mengenai amil. Pada kesempatan kali ini, rumaysho.com akan membahas 3 golongan yang berhak menerima zakat sebagai kelanjutan dari bahasan sebelumnya, yaitu amil zakat, muallaf dan pembebasan budak.

Golongan ketiga: amil zakat

Amil zakat tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ

“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[1]

Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan  pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[2]

Siapakah Amil Zakat?

Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[3]

‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[4]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat[5] untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[6]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula, “Orang yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya, ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas. Jika harta zakat itu rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur kewajibannya.”[7]

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.

Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.

Berapa besar zakat yang diberikan kepada ‘amil? Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Ia diberikan sebagaimana upah hasil kerja kerasnya.”[8]

Golongan keempat: muallafatu qulubuhum (orang yang ingin dilembutkan hatinya).

Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.

Contoh dari kalangan muslim:

  1. Orang yang lemah imannya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Termasuk golongan muallafatu qulubuhum adalah orang yang diharapkan ketika diberikan zakat imannya akan semakin kuat. Orang yang diberi di sini adalah yang lemah imannya seperti sering meremehkan shalat, lalai akan zakat, lalai akan kewajiban haji dan puasa, serta semacamnya.”[9]
  2. Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.

Contoh dari kalangan kafir:

  1. Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
  2. Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[10]

Adapun memberikan zakat bagi orang yang sudah lama masuk Islam dan sudah bagus Islamnya, maka tidak tepat diberikan zakat untuknya karena ia bukan lagi orang yang muallafatu qulubuhum. Wallahu a’lam.

Golongan kelima: pembebasan budak

Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin memerdekakan diri dengan dengan syarat melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[11]

Contoh penyaluran zakat untuk pembebasan budak mukatab: Ada seorang budak yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan bayaran 10.000 riyal (Rp.25 jt). Enam bulan pertama, ia berjanji membayar 5000 riyal dan enam bulan berikutnya ia membayar 5000 riyal. Maka ketika itu ia diberi zakat maisng-masing 5000 riyal untuk tahap pertama dan kedua.[12]

Untuk pembebasan budak mukatab, boleh saja zakat diserahkan pada si budak lalu ia melunasi utangnya pada tuannya. Boleh pula zakat tersebut diserahkan langsung pada tuannya. Karena dalam ayat digunakan kata “fii”, yang berarti untuk pembebasan budak dan tidak mesti langsung diserahkan pada budaknya, beda halnya dengan fakir dan miskin.[13]

-bersambung insya Allah-

 

@ KSU, Riyadh, KSA, 14 Rajab 1433 H

www.rumaysho.com

 


[1] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 319-320.

[3] Fiqh Sunnah, 1: 353.

[4] Tamamul Minnah, 2: 290.

[5] Ini seperti keadaan badan atau lembaga zakat atau takmir masjid di negeri kita yang sebenarnya status mereka adalah sebagai wakil dan bukan amil zakat.

[6] Majalis Syahri Ramadhan, hal 163-164.

[7] Syarhul Mumti’, 6: 224-225.

[8] Syarhul Mumti’, 6: 226.

[9] Syarhul Mumti’, 6: 227.

[10] Lihat Al Mughni, 7: 319.

[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 320.

[12] Syarhul Mumti’, 6: 229.

[13] Lihat Syarhul Mumti’, 6: 229-230.


Artikel asli: https://rumaysho.com/2494-golongan-penerima-zakat-2.html